21601021046
SEJARAH
HUKUM KEWARISAN ISLAM.
A. Sebab-Sebab
Pembagian harta Kewarisan Pada Zaman Jahiliah
Tradisi
pembagian harta waris pada zaman jahiliah, berpegang teguh pada tradisi yang
telah diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur mereka, yaitu anak-anak yang
belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli
waris yang telah meninggal. Mereka beranggapan bahwa anak-anak, orang
perempuan, dan orang usia lanjut adalah orang-orang yang lemah fisiknya dan
tidak berharga. Karena kaum wanita, anak kecil, dan orang lanjut usia tidak
mampu mencari nafkah, tidak sanggup berperang dan merampas harga musuh sehingga
mereka tidak berhak menerima harta waris dari keluarga atau orang tuanya
sendiri. Sebab-sebab mereka berhak menerima harta warisan adalah :
1. Karena Hubungan Kerabat
Kekerabatan
ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran.
Oleh karena itu, para ahli waris
jahiliah dari golongan kerabat semuanya terdiri atas:
a. Anak
laki-laki;
b. Saudara
laki-laki;
c. Paman;
d. Anak-anak
yang semuanya harus dewasa.
2. Karena Janji Setia
Janji prasetia, terjadi, dan
mempunyai kekuatan hukum, apabila salah satu pihak telah mengikrarkan janji
setianya kepada pihak lain, seperti ucapan:
“Darahku darahmu, pertumpahan
darahku pertumpahan darahmu. Perjuanganku, perjuanganmu”. Atau dengan ungkapan
lain :
“Berprasetia dan berjanjilah padaku
untuk saling menolong dan bantu-membantu”
Akibat
dari janji setia yang telah mereka setujui bersama, konsekuensi yang terjadi
adalah jika salah satu pihak telah mengadakan perjanjian kemudian meninggal
dunia, pihak lain yang masih hidup berhak mempusakai harta peninggalan rekannya
yang mendahului meninggal dunia sebanyak 1/6 bagian harta peninggalannya.
Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 ini dibagi-bagikan kepada ahli
warisnya.
Sebagian
mufassir (ahli tafsir) membenarkan pusaka-mempusakai berdasar janji
setia ini, berdasar firman Allah yang terdapat pada Surah An-Nisa’ ayat 33.
3. Karena Pengangkatan Anak
Pengangkatan
anak, seseorang yang telah mengambil anak laki-laki orang lain untuk dipelihara
dan dimasukkan ke dalam keluarga yang menjadi tanggungannya, dan menjadi bapak
angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus sebagai anak nasab.
Apabila
anak angkat tersebut sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat
mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri.
Di dalam segala hal ia diperlakukan sebagai anak kandung dan di-nasab-kan
kepadanya, bukan di-nasab-kan kepada bapak yang sejati.
B. Pembagian
Waris Pada Awal Islam Menuju Kesempurnaan
Pada zaman awal Islam ada beberapa
sebab pusaka-mempusakai di samping karena adanya hubungan kerabat atau
pertalian nasab, yaitu sebagai berikut,
1. Pengangkatan anak.
2. Hijrah dari Mekah ke
Madinah.
3. Persaudaraan antara
Muhajirin dan Anshor.
Pengangkatan
anak sebagai sebab mempusakai di masa jahiliah terus berlaku samapai pada
permulaan Islam. Kebiasaan zaman jahiliah mengangkat anak orang lain sebagai
anaknya dan di bangsakan kepadanya.
Rasulullah
SAW sebelum diangkat menjadi rasul, mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak
beliau dan dikatakan Zaid bin Muhammad. Beliau mengangkat Zaid sebagai anaknya,
sesudah Zaid dimerdekakan. Demikian juga Abu Huzaifah ibn ‘Utbah mengangkat
Salim menjadi anaknya dan dikatakan Salim ibn Abu Huzaifah.
Keadaan
ini berlaku sampai pada permulaan Islam, sehinga turun Surah Al-Ahzab ayat 4
sampai 5. Ayat tersebut berisikan adanya larangan menggunakan pangggilan anak
angkat seperti panggilan anak keturunannya sendiri.
Apabila
orang-orang muhajirin tidak mempunyai wali yang ikut hijrah, harta
peninggalannya dapat dipusakai oleh saudaranya dari orang-orang yang menjadi
wali karena ada aikatan persaudaraan. Hal ini dibenarkan oleh firman Allah
dalam Surah Al-Anfal ayat 72.
Setelah
akidah mereka bertambah kuat dan satu sama lain telah terpupuk rasa saling
cinta, serta perkembangan islam sudah maju, pemerintahan islam sudah stabil
maka kewajiban hijrah yang semula sebagai media untuk menyusun kekuatan antara
orang muslim dari Mekkah dan orang muslim dari Madinah dicabut berdasarkan
hadiits Rasulullah, dan sebab mempusakai yang berdasarkan ikatan persaudaraan
dihapus atau dibatalkan oleh firman Allah dalam Surah Al-Ahzab ayat 6.
Sebab
mempusakai yang hanya didasarkan pada seorang laki-laki yang kuat dan ikut
berjuang, dengan mengesampingkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan
juga dibatalkan oleh firman Allah yang terdapat dalam Surah An-Nisa’ ayat 7 dan
ayat 127.
Dalam
kedua ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum perempuan itu sedikit atau banyak
mendapat bagian harta peninggalan secara pasti sebagai ahli waris. Adapun
pembatalan tentang ketiadaan dapat mempusakai bagi anak-anak yang belum dewasa
tercantum dalam keumuman Surah An-Nisa’ ayat 11. Mempusakai yang didasarkan
atas janji prasetia, sebagaimana yang tercantum dalam Surah An-Nisa’ ayat 33,
di -nasakh (dibatalkan) oleh firman Allah dalam Surah An-Anfal ayat 75.
Kesimpulannya
bahwa aturan pembagian waris Islam tidak mengandung unsur sewenang-wenangan
terhadap para ahli waris, bahkan Islam telah memperbaiki
kepincangan-kepincangan sistem pusaka mempusakai pada zaman dahulu serta
mengundang unsur-unsur keadilan mutlak.
Keistimewaan
yang terdapat dalam pusaka mempusakai menurut kewarisan Islam antara lain sebagai
berikut :
1. Tidak
menyerahkan sepenuhnya warisan kepada orang yang telah diwasiatkan, baik dari
kerabat dekat maupun kerabat yang sudah tidak ada pertalian nasab sama
sekali. Tetapi islam mengizinkan kepada orang yang mewariskan wasiat maksimal
1/3 harta peninggalan.
2. Tidak
melarang kepada Bapak dan leluhur yang lebih atas darinya untuk mempusakai
bersama-sama dengan anak pewaris dan tidak melarang si istri untuk mempusakai
suaminya yang telah meninggal atau sebaliknya, seperti tata cara mempusakai yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Romawi.
Akan tetapi, Islam menetapkan bahwa
mereka semua adalah tergolong ahli waris yang sama-sama mempunyai hak untuk
menerima harta peninggalan.
3. Tidak
mengistimewakan dalam pemberian harta peninggalan hanya kepada satu macam
pewaris saja, kendatipun jumlah anak-anak tersebut banyak. Akan tetapi, syariat
Islam menyamakan hak anak tersebut sesuai dengan bagian masing-masing.
4. Tidak
menolak anak-anak belum dewasa dan yang perempuan untuk menerima harta peninggalan.
5. Tidak
membenarkan anak angkat untuk mempusakai harta peninggalan pewaris, sebagai
ahli waris pewaris.
C. Hukum Kewarisan di Indonesia
Bangsa Indonesia yang menganut
berbagai agama dan kepercayaan mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem
keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini berpengaruh
terhadap sistem kewarisan dalam masyarakat tersebut. Di antara orrang-orang
Indonesia asli tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan di berbagai
daerah terdapat berbagai sifat kekeluargaan yang dapat dimasukkan dalam tiga
golongan, yaitu :
1. sifat kebapakan (patriarchaat);
2. sifat keibuan
(matriarchaat); dan
3. sifat kebapak-ibuan
(parental).
Kekeluargaan yang bersifat kebapakan
ini di Indonesia terdapat di tanah goyo, Alas, Batak, Ambon, Papua, dan Bali.
Kekeluargaan yang bersifat keibuan di Indonesia hanya terdapat di satu daerah,
yaitu di tanah Minangkabau.
Kekeluargaan yang bersifat
kebapak-ibuan adalah yang paling merata di Indonesia, yaitu di jawa, Madura,
Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh
Sulawesi, Ternate dan Lombok.
D. Lembaga yang Berwenang
Menyelesaikan Perkara Kewarisan di Indonesia
Pengertian perkara perdata tertentu
oleh undang-undang dijelaskan dalam Pasal 49 yang menentukan bahwa Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam dibidang :
1. Perkawinan;
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3. Wakaf dan shadaqoh.
Dalam pasal ini ditegakkan bahwa
kewarisan bagi umat Islam, diseluruh Indonesia penyelesaiannya menjadi wewenang
Pengadilan Agama. Hukum yang digunakan dalam menyelesaikan kewarisan itu adalah
hukum kewarisan Islam atau faraidh.
Setelah dilakukan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 maka eksistensi Peradilan Agama dengan
penerapan hukum Islam menjadi lebih kukuh dengan adanya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Pengertian perkara tertentu oleh
Undang-Undang di jelaskan dalam Pasal 49 yang berbunyi bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beraga Islam di bidang
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf
6. Zakat;
7. Infaq;
8. Shadaqah; dan
9. Ekonomi syariah.
Dengan diakuinya kompetensi absolut
Pengadilan Agama dalam mengadili perkara-perkara yang tersebut dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, maka tidak lagi ada pilihan hukum bagi
orang-orang yang bergama Islam di dalam menyelesaikan konflik persoalan
tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
Undang-Undang Peradilan Agama (49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama) dapat
menyisihkan Undang-Undang Peradilan Umum dalam hal kewenangan mengadili
perkara-perkara Islam sebagaimana yang tertuang dalam pasal 49.
Sumber : Moh. Muhibbin, Abdul Wahid,
Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia,
(Jakarta Timur:Sinar Grafika,2017).