Selasa, 10 April 2018

SEJARAH HUKUM KEWARISAN ISLAM [TUGAS KULIAH]

AHR
21601021046


SEJARAH HUKUM KEWARISAN ISLAM.

A. Sebab-Sebab Pembagian harta Kewarisan Pada Zaman Jahiliah
Tradisi pembagian harta waris pada zaman jahiliah, berpegang teguh pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur mereka, yaitu anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli waris yang telah meninggal. Mereka beranggapan bahwa anak-anak, orang perempuan, dan orang usia lanjut adalah orang-orang yang lemah fisiknya dan tidak berharga. Karena kaum wanita, anak kecil, dan orang lanjut usia tidak mampu mencari nafkah, tidak sanggup berperang dan merampas harga musuh sehingga mereka tidak berhak menerima harta waris dari keluarga atau orang tuanya sendiri. Sebab-sebab mereka berhak menerima harta warisan adalah :
1. Karena Hubungan Kerabat
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran.
Oleh karena itu, para ahli waris jahiliah dari golongan kerabat semuanya terdiri atas:
a. Anak laki-laki;
b. Saudara laki-laki;
c. Paman;
d. Anak-anak yang semuanya harus dewasa.
2. Karena Janji Setia
Janji prasetia, terjadi, dan mempunyai kekuatan hukum, apabila salah satu pihak telah mengikrarkan janji setianya kepada pihak lain, seperti ucapan:
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu. Perjuanganku, perjuanganmu”. Atau dengan ungkapan lain :
“Berprasetia dan berjanjilah padaku untuk saling menolong dan bantu-membantu”
Akibat dari janji setia yang telah mereka setujui bersama, konsekuensi yang terjadi adalah jika salah satu pihak telah mengadakan perjanjian kemudian meninggal dunia, pihak lain yang masih hidup berhak mempusakai harta peninggalan rekannya yang mendahului meninggal dunia sebanyak 1/6 bagian harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 ini dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.
Sebagian mufassir (ahli tafsir) membenarkan pusaka-mempusakai berdasar janji setia ini, berdasar firman Allah yang terdapat pada Surah An-Nisa’ ayat 33.
3. Karena Pengangkatan Anak
            Pengangkatan anak, seseorang yang telah mengambil anak laki-laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan ke dalam keluarga yang menjadi tanggungannya, dan menjadi bapak angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus sebagai anak nasab.
Apabila anak angkat tersebut sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri. Di dalam segala hal ia diperlakukan sebagai anak kandung dan di-nasab-kan kepadanya, bukan di-nasab-kan kepada bapak yang sejati.

B. Pembagian Waris Pada Awal Islam Menuju Kesempurnaan
Pada zaman awal Islam ada beberapa sebab pusaka-mempusakai di samping karena adanya hubungan kerabat atau pertalian nasab, yaitu sebagai berikut,
1. Pengangkatan anak.
2. Hijrah dari Mekah ke Madinah.
3. Persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor.
Pengangkatan anak sebagai sebab mempusakai di masa jahiliah terus berlaku samapai pada permulaan Islam. Kebiasaan zaman jahiliah mengangkat anak orang lain sebagai anaknya dan di bangsakan kepadanya.
Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi rasul, mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak beliau dan dikatakan Zaid bin Muhammad. Beliau mengangkat Zaid sebagai anaknya, sesudah Zaid dimerdekakan. Demikian juga Abu Huzaifah ibn ‘Utbah mengangkat Salim menjadi anaknya dan dikatakan Salim ibn Abu Huzaifah.
Keadaan ini berlaku sampai pada permulaan Islam, sehinga turun Surah Al-Ahzab ayat 4 sampai 5. Ayat tersebut berisikan adanya larangan menggunakan pangggilan anak angkat seperti panggilan anak keturunannya sendiri.
 Apabila orang-orang muhajirin tidak mempunyai wali yang ikut hijrah, harta peninggalannya dapat dipusakai oleh saudaranya dari orang-orang yang menjadi wali karena ada aikatan persaudaraan. Hal ini dibenarkan oleh firman Allah dalam Surah Al-Anfal ayat 72.
Setelah akidah mereka bertambah kuat dan satu sama lain telah terpupuk rasa saling cinta, serta perkembangan islam sudah maju, pemerintahan islam sudah stabil maka kewajiban hijrah yang semula sebagai media untuk menyusun kekuatan antara orang muslim dari Mekkah dan orang muslim dari Madinah dicabut berdasarkan hadiits Rasulullah, dan sebab mempusakai yang berdasarkan ikatan persaudaraan dihapus atau dibatalkan oleh firman Allah dalam Surah Al-Ahzab ayat 6.
Sebab mempusakai yang hanya didasarkan pada seorang laki-laki yang kuat dan ikut berjuang, dengan mengesampingkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan juga dibatalkan oleh firman Allah yang terdapat dalam Surah An-Nisa’ ayat 7 dan ayat 127.
Dalam kedua ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum perempuan itu sedikit atau banyak mendapat bagian harta peninggalan secara pasti sebagai ahli waris. Adapun pembatalan tentang ketiadaan dapat mempusakai bagi anak-anak yang belum dewasa tercantum dalam keumuman Surah An-Nisa’ ayat 11. Mempusakai yang didasarkan atas janji prasetia, sebagaimana yang tercantum dalam Surah An-Nisa’ ayat 33, di -nasakh (dibatalkan) oleh firman Allah dalam Surah An-Anfal ayat 75.
Kesimpulannya bahwa aturan pembagian waris Islam tidak mengandung unsur sewenang-wenangan terhadap para ahli waris, bahkan Islam telah memperbaiki kepincangan-kepincangan sistem pusaka mempusakai pada zaman dahulu serta mengundang unsur-unsur keadilan mutlak.
Keistimewaan yang terdapat dalam pusaka mempusakai menurut kewarisan Islam antara lain sebagai berikut :
1. Tidak menyerahkan sepenuhnya warisan kepada orang yang telah diwasiatkan, baik dari kerabat dekat maupun kerabat yang sudah tidak ada pertalian nasab sama sekali. Tetapi islam mengizinkan kepada orang yang mewariskan wasiat maksimal 1/3 harta peninggalan.
2. Tidak melarang kepada Bapak dan leluhur yang lebih atas darinya untuk mempusakai bersama-sama dengan anak pewaris dan tidak melarang si istri untuk mempusakai suaminya yang telah meninggal atau sebaliknya, seperti tata cara mempusakai yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Romawi.
Akan tetapi, Islam menetapkan bahwa mereka semua adalah tergolong ahli waris yang sama-sama mempunyai hak untuk menerima harta peninggalan.
3. Tidak mengistimewakan dalam pemberian harta peninggalan hanya kepada satu macam pewaris saja, kendatipun jumlah anak-anak tersebut banyak. Akan tetapi, syariat Islam menyamakan hak anak tersebut sesuai dengan bagian masing-masing.
4. Tidak menolak anak-anak belum dewasa dan yang perempuan untuk menerima harta peninggalan.
5. Tidak membenarkan anak angkat untuk mempusakai harta peninggalan pewaris, sebagai ahli waris pewaris.

C. Hukum Kewarisan di Indonesia
Bangsa Indonesia yang menganut berbagai agama dan kepercayaan mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini berpengaruh terhadap sistem kewarisan dalam masyarakat tersebut. Di antara orrang-orang Indonesia asli tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan di berbagai daerah terdapat berbagai sifat kekeluargaan yang dapat dimasukkan dalam tiga golongan, yaitu :
1. sifat kebapakan (patriarchaat);
2. sifat keibuan (matriarchaat); dan
3. sifat kebapak-ibuan (parental).
Kekeluargaan yang bersifat kebapakan ini di Indonesia terdapat di tanah goyo, Alas, Batak, Ambon, Papua, dan Bali. Kekeluargaan yang bersifat keibuan di Indonesia hanya terdapat di satu daerah, yaitu di tanah Minangkabau.
Kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan adalah yang paling merata di Indonesia, yaitu di jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok.

D. Lembaga yang Berwenang Menyelesaikan Perkara Kewarisan di Indonesia
Pengertian perkara perdata tertentu oleh undang-undang dijelaskan dalam Pasal 49 yang menentukan bahwa Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam dibidang :
1. Perkawinan;
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3. Wakaf dan shadaqoh.
Dalam pasal ini ditegakkan bahwa kewarisan bagi umat Islam, diseluruh Indonesia penyelesaiannya menjadi wewenang Pengadilan Agama. Hukum yang digunakan dalam menyelesaikan kewarisan itu adalah hukum kewarisan Islam atau faraidh.
Setelah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 maka eksistensi Peradilan Agama dengan penerapan hukum Islam menjadi lebih kukuh dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pengertian perkara tertentu oleh Undang-Undang di jelaskan dalam Pasal 49 yang berbunyi bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beraga Islam di bidang
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf
6. Zakat;
7. Infaq;
8. Shadaqah; dan
9. Ekonomi syariah.
Dengan diakuinya kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam mengadili perkara-perkara yang tersebut dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka tidak lagi ada pilihan hukum bagi orang-orang yang bergama Islam di dalam menyelesaikan konflik persoalan tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Undang-Undang Peradilan Agama (49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama) dapat menyisihkan Undang-Undang Peradilan Umum dalam hal kewenangan mengadili perkara-perkara Islam sebagaimana yang tertuang dalam pasal 49.
Sumber : Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta Timur:Sinar Grafika,2017).